Berpaling

Agustus, langit di atas Kota Dodol itu dihiasi warna perak cahaya bulan yang bersembunyi di balik awan stratus yang membentang ke seluruh penjuru desa. Sawah dan pegunungan pun berwarna ambivalen dengan warna cakrawala, perak keputihan. Pangkal jerami di sawah, bunga-bunga kamboja di sepanjang pegunungan Papandayan dan Cikuray telah membumikan warna langit, menampilkan warna putih perak. Jadilah warna bumi langit dalam berpaduan warna, tepat di atas bentang alam bumi Garut, Cisurupan.
Aku tengah menyandang gelar status sarjana pendidikan, gelar yang kudapatkan dengan segala jerih payah yang ku raih di bangku perkuliahan di salah satu universitas ternama di Bandung. Kali ini, tiba waktunya untuk mengabdikan segala ilmu yang ku dapatkan di desa ini. Bagiku IPK cumloude tak menjadi sebuah tujuan, yang terpenting selama perkuliahan cara sehat selalu ku tempuh agar semuanya menjadi barokah. Itulah mungkin balasan yang aku dapatkan, kini aku mengajar mata pelajaran Geografi di sebuah Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Garut. Meski upahku tak banyak, aku ikhlas melakukannya.
Assalamualaikum. Aba kapan ke Cianjur? Umi bertanya kapan Aba siap untuk melamarku?
Tiba-tiba dering handphone berbunyi, tak kusangka pesan singkat itu datang dari Mutia, calon istriku. Tanpa basa basi aku telpon dia.
Tuuuuut....Tuuuut...Tuuut...
Assalamua’laikum, Ami.” Aku sedikit gerogi.
Waalaikumusalam, Aba.” Terdengar suara Muti nan lembut.
“Ami.....” Aku sejenak terdiam.
“Iya Aba? Aba tak rindu padaku? Mengapa sudah satu bulan ini Aba menghilang? Sesibukah pekerjaan Aba di kampung halaman? Umi menanyakan keseriusan Aba.” Sontak pertanyaan itu datang bertubi-tubi.
“Aba belum bisa, Mi. Di desa Aba banyak sekali pekerjaan. Aba mohon sampaikan salam untuk Umi dan Abah disana.” Aku mengerutkan dahi.
“Baik Aba, Ami janji untuk terus menunggu Aba.” Tergetar hatiku saat Mutia mengucapkan kalimat tersebut. Aku semakin kalut.
“Terima kasih Ami atas kepercayaan yang telah terbina selama empat tahun ini. Meski kita belum pernah pergi makan bersama, main bersama, bahkan untuk bertemu Ami pun jarang, hati Aba selalu berdebar dan tak sanggup menatap mata yang memancar cahaya ketulusan itu, Ami selalu percaya dengan Aba.” Aku merasa bersalah, membuatnya menunggu terlalu lama.
“Aamiin, Ba. Semoga harapan kita untuk bersanding di pelaminan segera terlaksana. Ba, maaf tak bisa berbicara lama, Umi memanggilku di kamarnya.” Jawab Muti penuh harap.
“Baiklah, Mi. Salam hangat untuk keluarga, semoga hari terbaik dapat mempertemukan kita. Assalamuala’ikum.” Aku menutup pembicaraan dengan ucapan salam dan bernafas panjang.
Hanya itulah percakapan aku dan dia. Jika itu ucapan kesetiaan yang saling menguatkan alangkah asingnya, tanpa susulan percakapan yang lebih panjang. Tanpa ajakan untuk berkunjung ke rumahku. Namun, sekali pun aku dan dia hanya menitipkan rindu pada jarak alangkah banyaknya yang terucap di dalam hati. Darah yang menjalari pipi adalah mahkota yang jujur dari suasana batin yang terjadi dalam hati, sesudah itu tak ada lagi. Sejenak saling termangu, lalu saling melanjutkan dan langkah kami pun kadang terasa berat untuk menjemput takdir terbaik, pernikahan.
***
Aku menyusuri kabut diantara sawah yang mulai menguning. Pagi yang buta ini, alangkah senangnya aku adalah orang yang pertama duduk manis di ruang guru. Aku membuka kembali buku-buka yang terlihat kumal dan berdebu, buku yang menjadi referensi saat aku menyampaikan materi di kelas. Lumayan tak sia-sia aku selalu membeli buku saat kuliah dulu, semuanya terpakai. Pikirku dalam hati.
“Selamat pagi pak Tirta. Ada kabar baik untukmu.” Seorang wanita paruh baya datang menyergapiku secara tiba-tiba.
“Pagi bu Alexa. Ada apa ya?” Aku terkaget-kaget, rupanya pembicaraan ini membuatku penasaran.
“Bapak belum menikah kan? Ituloh pak, Ibu Sinta guru Biologi rumornya naksir bapak. Semua guru disini sudah tahu.” Ibu Alexa membisikanku sebuah berita yang terbilang hangat.
“Astaga, gosip darimana bu? Saya memang belum menikah, namun saya tak pernah mendekati wanita siapapun apalagi di sekolah ini.” Aku tercengang mendengar kabar itu.
“Ihhh bapak ini. Menurut saya dia cocok sekali denganmu, masih segar ko hehehehe.” Bujuknya sambil membenahi rambut sanggulnya.
“Ah ada-ada aja ibu ini. Sudahlah lupakan, takutnya itu menjadi fitnah.” Aku menyudahi kabar burung itu dan segera pergi keluar untuk menghirup udara segar.
Sejuknya bentang alam Cisurupan memang begitu membuat otak dan hati ini bekerjasama dengan baik. Aku mengajar dua kelas untuk hari ini dan sisanya aku membereskan beberapa pekerjaan rumah yang mulai menumpuk. Entah mengapa, aku menjadi teringat kabar dari ibu Alexa, guru Fisika itu. Beliau adalah guru senior, sudah lama menjadi tenaga pendidik di sekolah ini. Laganya memang terbilang glamor, maklum beliau terbiasa mengajar di kota sebelum mengabdikan ilmunya di desa yang sederhana ini.
“Ta, mau pulang ya?” Seorang gadis mengenakan kerudung tosca dan rok berwarna hitam serta tangannya yang penuh dengan aksesoris mendekatiku.
“Eh iya Sin, saya hanya mengajar dua kelas hari ini.” Aku merapikan jaket dan berkas-berkas dalam tas.
“Mau tolong aku gak? Antar aku ke rumah sakit yang terletak di Tarogong.” Wajahnya memelas.
“Emmm....” Aku teringat Muti.
“Kenapa Ta? Kita kan sama-sama baru lulus kuliah. Kamu jangan malu kita jalan berdua, aku tidak terlihat tua kan?” Sinta mencibirku.
“Eh bukan begitu... Yasudahlah saya akan antar kamu kesana.” Aku meng-iyakan untuk membantunya.
“Nah begitu dong. Senang punya teman baru sepertimu, Ta.” Sinta tersenyum, manis memang.
Sepanjang jalan Sinta banyak sekali bercerita. Aku baru tahu dia adalah lulusan terbaik di salah satu universitas ternama di Jakarta. Sama sepertiku dia mengambil provesi kependidikan, cita-citanya yang memang menginginkan untuk menjadi guru di desa pedalaman lantas membuatku semakin tersanjung dengan keinginannya yang mulia itu.
Sayangnya cita-cita Sinta agak terpendat, Kista yang bersarang dirahimnya membuat kedua orangtuanya tidak mengizinkan untuk mengikuti program Indonesia Mengajar. Namun, semangatnya tak kunjung padam. Sinta tetap mengamalkan ilmu yang dia punya di sebuah sekolah yang jaraknya terbilang dekat dengan rumahnya.
“Saya baru tahu ternyata kamu mengidap penyakit Kista.” Aku berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit.
“Iya Ta, itulah yang membuat kedua orangtuaku khawatir. Romannya aku tak bisa mewujudkan keinginan mulia itu.” Sinta cemberut, pipinya yang tembem seperti kue apem semakin jelas menggembung.
“Duh jangan cemberut gitu dong, kayak ikan kembung aja. Hahahaha....” Aku mencoba menghiburnya.
“Ih kamu nyebelin ya, aku serius tahu.” Sinta mencubit lengan kiriku.
“Eits jangan cubit-cubit, bukan mahrom. Maaf aku hanya banyolan. Menurutku kamu tak harus menjadi guru di desa pelosok sana, dengan adanya kamu di sekolah pun sudah menjadi ibadah, Insya Allah. Sekarang tinggal kamu harus bersemangat agar penyakitmu sembuh.” Aku meyakinkannya.
“Ah Tirta, iya semoga saja. Aku masih pesimis.” Sinta termangu, terlihat cahaya masuk ke dalam ruang kedap di hatinya.
Siang menjelang sore, aku menemaninya check up. Bahkan saking asyiknya sejenak aku lupa dengan sosok Muti. Aku merasa nyaman dan akrab saat berinteraksi dengan Sinta. Ku pikir tak ada salahnya aku menyemangatinya untuk terus bertahan hidup.
***
Dua minggu lamanya aku dan Sinta sudah akrab, desas-desus aku menjalin hubungan mulai tercium di meja para guru. Tak hanya itu, tak sedikit murid-muridku men-cie kan aku dengannya. Aku mengelaknya atas tuduhan itu, namun Sinta hanya rona merah di pipinya yang terlihat. Sepertinya aku sudah melakukan kesalahan besar. Aku yang dinanti oleh Mutia dan Sinta yang menanti keseriusanku.
Kebersamaan merupakan awal timbulnya kasih sayang dan kasih sayang awal timbulnya rasa cinta. Hal itu juga yang terjadi pada aku dan Sinta. Namun, untuk mengungkapkannya terasa malu. Disaat itu, aku teramat sadar saat ini sedang mengemban tugas mulia yaitu menebar benih cinta kepada anak negeri, memberikan cahaya di tengah kegelapan kebodohoan yang melingkungi desa, menjadikan para pemuda untuk hidup kembali karakter budi pekertinya.
Tapi apakah menebar benih cinta ke sang pujaan demi semangat berjuang itu salah? Bukankah perjuangan yang tulus dan ikhlas diawali dengan perasaan cinta? Salahkan aku bila mengungkapkan benih cinta ini pada Sinta? Lalu bagaimana dengan Mutia? Gumamku dalam hati berontak.
Tuuuut....Tuuut....Tuuut...
Tuuuut...Tuuut....Tuuut...
Mutia tak mengangkat teleponnya. Hatiku gusar, yang terlintas dibenakku bahwa Mutia telah berpaling dariku karena aku tak kunjung jua malamarnya. Baikalah kuputuskan untuk tak menghubunginya beberapa hari.
“Hey Tirta, sedang apa kamu? Melamun sendiri.” Aku yang masih mematung memikirkan Mutia tiba-tiba dikagetkan oleh Sinta.
“Ehh, gak ada apa-apa.” Aku terkekeh, segera aku masukan handphoneku ke dalam saku celana.
“Ih habis telepon siapa? Rupanya galau sekali.” Sinta menerka-nerka, tatapannya membuatku meleleh.
“Tidak...Tidak. sudahlah lupakan, mari saya antarkan. Saya akan mengantarkanmu pulang sampai bertemu orangtuamu agar mereka tak khawatir.” Aku segera menyerahkan helm biru, helm itu selalu dipakai Mutia ketika kami masih kuliah.
Sinta tampak kegirangan, matanya berbinar syahdu. Angan-agangannya agar aku menemui orangtuanya membuat perasaannya meroket tinggi, membumbung jauh ke langit biru.
Setibanya dalam rumah yang sederhana, kedua orangtuanya menyambutku dengan begitu baik. Bahkan ku tangkap sinyal lampu hijau nampak jelas sekali dari raut wajah ibunya. Kali ini aku benar-benar dilema.
***
 Beberapa minggu kemudian aku mendapatkan kabar dari Mutia bahwa dia akan berkunjung ke Garut beserta kedua orangtua dan kerabatnya, jelasnya ada pernikahan kakak sulungnya yang berlangsung di Cikajang, tak jauh dari tempatku.
Rindangnya pematang sawah di Kota Cianjur, terlihat seorang gadis sedang menggebah-gebah beberapa burung-burung nakal yang hendak mencuri padi yang mulai menguning. Umi, yang kala itu sedang mempersiapkan makan siang untuk Abah memulai pembicaraan yang sangat serius.
“Mut, kapan Tirta melamarmu? Umi menatapku dengan teduh.
“Entahlah Mi, dia tak memberikan kepastian untukku. Satu hal yang membuat aku terus mempercayainya bahwa dia akan menyusulku kesini.” Aku tertunduk, kubenahi rambut yang hendak keluar dari kerudungku.
Deudeuh geulis, memangnya kamu mau diberikan harapan palsu? Boleh jadi Tirta sudah punya yang baru disana.” Deg, seketika perkataan Umi menghujam ulu hati.
“Tidak mungkin Mi. Tirta lelaki yang baik, tak mungkin seperti itu.”
Abah datang membawa pacul, matahari sejengkal tapat berada di pelupuk kepala, keringat membanjiri bajunya.
“Umimu benar, seharusnya kamu segera dilamar Tirta kalau laki-laki itu sungguh-sungguh mencintaimu.” Abah datang, segera dikipas-kipasnyalah hidid pada badannya.
“Abah, aku takin Tirta pasti melamarku. Aku sudah mengenalnya sejak kami pertama masuk kuliah, aku tahu semua perangainya Bah.” Aku menekan Abah dengan suara penuh keyakinan.
“Sudahlah, daripada berdebat dan hanya menimbulkan teka-teki yang tak jelas kita tanyakan saja kepastian yang jelas. Minggu depan kakakmu menikah, kediamannya tak jauh dari rumah Tirta, undang saja Tirta ke pernikahan anak kita. Iya kan Mi?” Abah mengusulkan sebuah ide yang cerdas.
“Setuju Abah. Bagaimana dengamu Mut?” Umi melirik kepadaku.
“Iya Mi, aku setuju.” Tanpa basa-basi aku meng-iya kan usulan dari Abah.
***
Aku mondar-mandir pada lorong-lorong rumah sakit, tempat Sinta melakukan pemeriksaan rutinnya setiap bulan. Aku khawatir sesuatu terjadi kepadanya. Bermula saat di sekolah, seperti biasanya kami melangsungkan upacara bendera setiap senin pagi dan tanpa sadar Sinta terjatuh pingsan. Ku lihat darah mengucur jelas pada rok bagian atas hingga kakinya. Semua guru terkaget termasuk aku, beberapa siswa menggerombol, dan segera berhamburan setelah bel berbunyi.
Aku tahu beberapa guru menyangka bahwa Sinta keguguran dan telah aku nodai kesuciaannya, namun setelah ku jelaskan Sinta mengidap penyakit Kista barulah mereka mengangguk-angguk. Beberapa guru lainnya memanggil Ambulans untuk segera membawa Sinta ke rumah sakit terdekat, kala itu Ibu Alexa meyakinkanku dan menyuruhku untuk terus mendampinginya.
Ku singsingkan lengan bajuku, duduk sejenak namun bangkit kembali. Perasaanku benar-benar campur aduk. Aku tahu bahwa tinggal menghitung hari, aku harus menghadiri pernikahan kakaknya Muti.
Sepasang suami istri berlari tergopoh-gopoh, keduanya memasang mimik muka yang panik, istrinya berhamburan air mata. Aku tahu tujuannya adalah kepadaku
“Kang, bagaimana keadaan Sinta?” Wanita itu segera merangkulku dengan hangat, bak seorang ibu kandung.
Alhamdulillah Mah, sudah ditangani dokter.” Aku memberikan umpan balik positif.
“Syukurlah Kang. Kang Tirta sendirian dari tadi?” Pak Aep mengajakku duduk pada sebuah koridor.
“Iya Bah. Amah dan Abah tak usah khawatir, Sinta sudah melalui penanganan medis. Mungkin dia banyak pikiran sehingga mengganggu kesehatannya."
Setelah runtutan peristiwa Sinta terjatuh pingsan, ibunya mulai membicarakan kapan aku akan segera melamarnya. Hanya dengan mahar seadanya, mereka tak menuntut aku untuk melakukan pernikahan yang istimewa.
Selidik demi selidik Sinta memang sudah menyukaiku sejak dulu, dialah yang mengungkapkan isi hatinya pada bu Alexa. Bodohnya, aku yang ingin membuatnya semangat bertahan hidup malah aku yang terperosok dalam kubangan cinta, cinta yang benar-benar hinggap dan tak pernah kurasakan sebelumnya, sebelumnya bersama Muti.
Angin mendadas dengan pelan memasuki ruangan yang terbuka. Udara begitu segar mengelus dedaunan hijau yang memenuhi desa Cisurupan. Jauh di lembah hati kedua insan itu ada nyanyian cinta yang paling merdu, terdengar melodi indahnya hingga menelusuk ke relung jiwa, dialah Sinta.
***
“Kemarin Umi melakukan pertemuan dengan Wa Haji, ternyata dia mempunyai anak bungsu laki-laki namanya Rangga. Wa Haji hendak menjodohkanmu dengannya.” Di sepanjang jalan tol, Umi terus nyoroscos membicarakan Rangga.
“Aku akan tetap menunggu Tirta, Umi.” Aku berusaha menunggu kegelisahanku.
“Tirta sampai saat ini belum ada kabarnya, bahkan respon kakakmu menikah dia hanya menjawab dengan gelagapan. Apa lagi yang kau tunggu!”
“Kamu jangan menunggu sesuatu yang tak pasti, karena dapat membuatmu kecewa. Kita tidak tahu kapan Tirta datang. Siapa tahu bulan depan atau tahun depan. Apa sih sebenarnya yang hendak dia kejar? Abah tidak mengerti, hanya ijab qabul saja susah. Abah tak meminta mahar yang muluk-muluk untuk menyandingkan putriku.” Abah bersungut-sungut penuh dengan kekesalan.
Aku terdiam. Memang benar apa yang dikatakan Umi dan Abah, sampai saat ini belum pernah mendengar kejelasan mengenai keseriusan Tirta. Hal itulah yang membuatku semakin gelisah. Perkataan Umi telah memaksaku untuk melupakan Tirta, kekasihku sekaligus calon imamku kelak.
“Umi, aku tidak bisa mencintai orang yang tidak aku cintai. Aku belum pernah mengenal Rangga, aku tak tahu perangai Rangga seperti apa. Cinta tidak dapat dipaksa. Sesuatu yang dipaksa pasti hasilnya tidak baik.” Aku bersikukuh untuk terus mempertahankan Tirta.
“Cinta bisa timbul dari kebersamaan. Kebersamaan mengarungi pahit manisnya kehidupan ini. Umi dan Abahmu dulu pada awalnya tak saling kenal dan tak saling cinta. Tapi lambat laun, seiring berjalannya waktu cinta itu hadir dan tumbuh. Buktinya kamu lahir di dunia ini, dan kelahiranmu adalah bukti cinta kami.” Umi mengelus lembut kepalaku  dengan penuh kehangatan.
Aku tidak dapat berkata lagi. Cinta itu memang penuh misteri, aku masih dilema antara mengikuti apa kata hatiku atau menuruti Umi.
“Sudahlah, sebentar lagi kita sampai di daerah Cikajang.” Abah yang sedang menyetir tiba-tiba nyeletuk untuk segera menyudahi percakapan panjang dan pelik ini.
Sewaktu berpapasan dengan Alun-alun Cisurupan, tepat di pertigaan simpang jalan antara Pasar Cisurupan dan Desa Cirandog dengan Desa Cibojong aku melihat laki-laki bertubuh gempal, memakai kacamata dan berkulit putih langsat. Aku tahu, aku sangat kenal ciri-ciri fisik tersebut aku tersentak dan Abah segera menghentikan mobilnya. Kakakku yang hendak melangsungkan pernikahan tercengang, sempat terjadi adu mulut sampai akhirnya dia mengalah demi kejelasan hubunganku.
***
Kali ini aku tercengang mendengar suara gadis memanggilku, aku sangat kenal dengan suara itu.
“Aba Tirta!!!” Seorang gadis berteriak, keluar dari mobilnya sambil membentangkan tangannya memelukku.
Saat itu dunia terasa milik Mutia. Semua persoalan hilang seketika. Pikiran, hati, dan jiwa penuh dimadu cinta. Mutia melepaskan nafas panjangnya seperti membuang beban perasaan yang terus menghantuinya dalam-dalam. Ditatapnya wajahku dalam-dalam dengan penuh cinta dan rasa bangga. Mutia bergelincang menahan buncahan bahagia saat itu.
Dengan pelan aku melepaskan pelukan Mutia. “Maafkan aku, Mut.” Aku tertunduk lesu.
“Aba kenapa? Apakah Aba tidak rindu kepadaku?” Matanya penuh dengan kegelisahan.
“Apakah Muti sudah menikah?” Tanyaku hati-hati.
“Belum, Aba. Bukankah kita berjanji untuk selalu bersatu? Bukankah Aba berjanji untuk melamarku setelah cita-cita Aba terlaksana? Bukan begitu, Ba?”
Sesaat situasi menjadi hening. Mata Mutia berkaca-kaca membendung keluarya tetes-tetes air mata. Semakin ia tahan tetesan itu, maka semakin membanjiri kedua bola matanya dan akhirnya meleleh melintasi pipih jatuh ke bumi.
Wajahku seketika memerah. Degup jantungku berdetak cepat. Keringat dingin mengucur sepanjang tubuhku.
“Maaf Mut, aku sudah menikah.” Aku mengatakannya dengan berat hati.
Tiba-tiba Mutia merasa dirinya seperti daun yang tertiup angin. Gemetar dan bergoyang tak menentu. Dadanya gemetar. Jiwanya terguncang. Hatinya seperti disayat secara pelan oleh bilahan tusuk belati yang aku hujamkan dari belakang. Perihnya terasa melebihi luka yang bermandikan darah. Air matanya menganak sungai. Impiannya untuk bersanding bersamaku berakhir duka.
“Cinta tidak selamanya memiliki, Mutia. Maaf aku telah menikah dengan Sinta. Dia lebih membutuhkanku, gadis yang terkena Kista itu membutuhkan kasih sayang yang lebih dariku, Mutia. Maafkan aku.” Ujarku dengan wajah pucat saat kutatap kekecewaan mendalam dari raut Abah dan Uminya.

-SEKIAN-

By : Alkhawari

Ilustrasi : http://cdn.klimg.com/

Tags:

Share:

0 komentar