Seuntai Tasbih dan Kalung Salib
Cerita ini diambil dari kisah nyata namun nama tokoh disamarkan, mohon maaf apabila ada kesamaan nama ataupun latar serta penulis tidak bermaksud untuk menyinggung SARA.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi? Meski cinta takkan bisa pergi .... (Peri Cintaku : Marcell)
Kalian pasti udah gak asing lagi kan dengan lirik lagu diatas. Ya inilah yang aku rasakan saat ini, sudah lumrah sih tentang sepasang kekasih yang berbeda agama seperti film “Cinta Tapi Beda” yang sempet dicekal itu. Namun, ini kisah jauh lebih menguras air mata dan bikin nyesek, biarkan ku ceritakan ya pengalamanku bersama dia, Kostka Albert Nugroho.
Hey kamu Albert, iya kamu !!! Aku rindu saat kamu menungguku sholat di luar mesjid Al-Furqan. Kamu duduk di bawah pohon duren, iya pohon ituloh tempat favorit kamu. Seperti biasa, kita sih awalnya hanya sekedar teman biasa, teman yang sering diskusi bareng (maklum sekelas dari semester satu), curhat bareng, bahkan kamu orang yang bawel banget nasehatin aku jangan begadang tiap hari. Setiap hari minggu aku ingin sekali kita bisa olahraga pagi biar aku bisa tinggi juga sama kaya kamu, tapi ya aku tau kita tak bisa karena kamu harus bersama Tuhanmu saat itu.
13 Maret 2014 hari dimana aku dan dia menjalani ikatan sebagai seorang “kekasih”. Memang agak sedikit aneh sih soalnya pertama kali aku punya pacar beda keyakinan, aku muslim sedangkan dia Katolik. Seuntai tasbih yang selalu aku lantuntan asma-asma Allah tergenggam erat ditangan ini kadang aku simpan di tas bersamaan dengan Al-Qur’an warna pink yang ibu hadiahkan saat aku beranjak 17 tahun, sementara dia dengan kalung salib yang melingkar dilehernya membuat aku dan dia terasa asing.
Awalnya kami berdua backstreet, tapi ya lama-kelamaan ketahuan juga kami pacaran. Namanya beda keyakinan pastilah banyak pro dan kontra, hidup memang kontradiktif !!! Aku harus menutup telinga dengan segala cercaan yang ada. Sahabatku, teman-temanku di himpunan seakan mengasingkan aku dan Albert. Kalung salibmu memang berbeda dengan tasbihku, untuk memperjuangkan hubungan kita pun butuh pengorbanan. Solusi singkat yang ada dipikiran orang awam sih sebenarnya agak gak masuk akal, ketika sudah frustasi hubungan cinta beda agama yang gak direstuin sama lingkungan biasanya adalah "Udah, kamu pindah agamaku aja". Segitu egoisnya? Kenapa bukan kamu saja yang menawarkan diri buat pindah agama?
“Cha, emang kamu gak malu gitu punya pacar kaya aku?” Albert menghela nafas.
“Hmmm biasa aja kok, biarin aja mereka mau berkata apa toh kita yang ngejalanin.” Aku menjawab dengan dingin.
“Yasudahlah, ini konsekuensi kita. Aku pun sama, biasa habis dapat sindiran dari teman-temanku yang organisasi ekstra.” Albert sedikit tertunduk.
“Terus kamu malu?” Aku sedikit sinis.
“Ah biasa aja sih, mereka gak tau apa yang sebenarnya.” Albert ketus.
Percakapan itu membuatku sedikit tertegun, kadang aku pun merasa canggung untuk ngobrol-ngobrol masalah keyakinan. Tapi, sungguh dia laki-laki yang begitu baik. Dia tak berani menyentuhku, bahkan kadang ngobrol pun kami berjauhan atau tidak saling menatap tajam. Saat adzan Dzuhur berkumandang dia sengaja mengantarkanku sampai depan mesjid Al-Furqan (seperti biasa), menungguku seraya dia membaca Alkitab di dekat pohon duren. Terkadang aku merasa sungkan, namun dia yang tak pernah keberatan untuk mengantar aku ibadah kesini, walau aku sekalipun belum pernah nganter dia misa ke gereja.
“Bang, maaf ya aku gak bawain kamu daging. Kamu masih puasa kan?” Seraya menyodorkan sate telur dan tempe.
“Ah iya gak apa-apa, segini saja aku sudah bersyukur. Iya aku belum bisa makan daging sebelum Paskah tiba (puasa 40 hari tidak makan daging). Makasih kamu udah ngerti.” Albert terseyum manis.
Dia mengepalkan dan berdoa menggerakkan tangannya membentuk salib, sedangkan aku menadahkan tangan dan membaca doa sebelum makan. Ya beginilah kami, saling menghormati satu sama lain. Namun, aku tak yakin akan bertahan dengannya.
***
04 April 2014 bertepatan hari Jumat pertama di bulan April, semua laki-laki muslim pergi ke mesjid untuk melaksanakan sholat Juma’at sementara kekasihku pergi ke gereja yang ada di bawah sana, ST. Laurentus untuk ibadat Jalan Salib[1]. Aku menunggunya di tengah kesunyian suasana Partere, sesekali aku memandangi foto kekasihku. Kadang aku berpikir harusnya cinta itu membahagiakan, mengangkat diri ini tinggi-tinggi, mengembangkan senyum ini berkali-kali. Tapi, mengapa? Disaat aku menemukannya seolah-olah Tuhan tak adil, namun sesegera aku mengucapkan istighfar.
(Sekitar pukul 14.00 WIB @Bareti)
“Sayang, maaf ya kalo kita gak seperti kekasih lain bisa main kapanpun, jalan-jalan, seneng-seneng. Sementara hari libur pun aku sibuk latihan paduan suara, minggunya aku ibadat.” Albert merasa sedikit gak enak.
“Euuuu... Iya berdoalah dengan Tuhanmu, akupun sama mengadu semua ini kepada Tuhanku. Aku tak pernah mempermasalahkan kamu mau ajak aku main atau tidak, selagi kita bisa berkomunikasi itu sudah cukup. Lagian aku pun sama gak bisa sebebas gadis lain main kesana kemari apalagi jika adzan Magrib berkumandang, aku harus sudah di kosan.”
“Iya Cha aku mengerti, kamu gak usah khawatirkan hal itu.” Albert memainkan jari-jarinya seolah-olah ada kata yang hendak keluar dari mulutnya, namun terpenggal.
“Hmmm begini cha... euuu...mmmm, aku tunggu kamu besok di depan kosan ya. Gak usah masuk tunggu di halaman saja, takut jadi fitnah kita berzina karena hanya ada aku, abangku pergi dari kemarin.” Wajah Albert tampak murung.
“Memangnya ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang penting.” Aku penasaran.
“Iya, ini tentang hubungan kita yang.” Nada suara Albert sedikit putus asa.
(menarik nafas) “Sudah kuduga. Baiklah besok seusai kuliah aku kesana.” Jawabku dengan tegas.
Aku dan Albert berpisah, Albert pergi kearah Ledeng dan aku pergi ke arah Gegerkalong. Hari-hari yang menebarkan, akupun tak sabar mendengar apa yang hendak dibicarakan. Putus-lanjut-putus-lanjut-putus, bunga terakhir yang kubuang-buang di tengah jalan sambil ku berjalan menunjukkan kata “putus”.
***
Aku tak percaya saat aku tiba di depan kosannya dan hendak mengetuk pintu. Dalam kesunyian, kulihat dia mengepalkan tangannya sambil memegang erat kalung salibnya itu. Samar terdengar do’a yang ia panjatkan:
“Tuhan mengapa kita berbeda? Mengapa ada banyak agama di dunia ini jika Tuhan memang ada satu? Bukankah Engkau penuh kasih? Tuhan, apakah yang sudah dipersatukan oleh cinta dapat dipisahkan oleh agama? Bukankah Engkau penuh kasih dan cinta? (seraya meneteskan air mata)
Jika memang Engkau mengatur jodoh setiap insan manusia, mengapa Kau atur dia di skenario hidupku? Padahal Kau tahu kita berbeda, Kau terlalu baik Tuhan hingga saat ini aku masih bisa melihatnya. Jaga dia selalu Tuhan, dia wanita muslim yang baik dan taat, aku sayang dia. Ya Tuhan Yesus, aku mohon lindungilah kekasihku, aku tahu kita tak mungkin bersatu, tapi sungguh keputusanku ini adalah sebuah keputusan yang terbaik. Lindungan dia, sebagaimana Engkau melindungi aku. Amin”
Tak terasa aku meneteskan air mata, dan sungguh aku baru merasakan ini denganya. Meski kami berbeda, tak pernah ku jumpai orang yang berbeda mendoakanku. Tak sadar dia membukakan pintu dan hendak menghapus air mataku.
“Astaga, maaf aku gak bisa menyentuh kamu.” Albert hampir memegang pipiku dengan tisu yang digenggamnya. (Bukan Albert saja yang gak boleh nyentuh, selama lelaki itu belum sah menjadi suami dia gak boleh nyentuh aku).
“Iya Bert tak apa, biar ku hapus sendiri air mata ini.” Mengambil tisu yang ada di tangan Albert.
“Cha maaf, sebenarnya dua hari yang lalu aku ingin berkata ini. Kita harus putus, orangtuaku yang tidak merestui hubungan kita, sebelumnya mohon maaf bukan karena orangtuaku membenci Islam, tapi ada satu hal yang membuat orangtuaku tidak mengizinkanku menjalin hubungan ini, aku tak bisa mengatakannya padamu.” Albert menundukan kepala.
“Iya Bert, aku mengerti.” Aku tersenyum.
“Kamu sudah sholat Ashar belum, Cha?” Albert mengalihkan pembicaraan.
“Belum Bert, tadi aku langsung kesini dan kebetulan belum adzan.”
“Ini sudah pukul 15.20 Cha, mari aku antarkan ke masjid yang tak jauh dari kosanku. Kamu jangan menunda-nunda saat bertemu dengan Tuhanmu.” Albert terkekeh-kekeh.
“Iya Bert pasti itu.” Aku tersenyum, masih saja dia mengingatkanku untuk sholat.
(Masuk ke dalam mesjid)
“Ehhhh ko kamu ga wudhu dulu?” Albert bingung.
“Sudah Bert tadi di kosan.” Aku masuk tanpa melihat wajahnya, tak tega.
Albert tersenyum.
Inilah saat terakhirku bersama Albert, kenangan terakhir saat kau menungguku sholat Ashar. Kami menangis saat mengadu pada Tuhan masing-masing, dia mengepalkan tangannya dan aku menadahkan tangan. Mengapa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda? Padahalkan Tuhan inginnya disembah dengan satu cara, oleh sebab itu Tuhan menciptakan cinta supaya yang berbeda menjadi satu.
Tapi, kamu lebih mencintai Tuhanmu daripada aku, begitu juga aku. Aku bersujud, kamu melipat tangan. Aku menggenggam tasbih, kamu menggenggam rosario. Aku ke masjid, kamu ke gereja.
05 April 2014
Belum satu bulan hubungan kami kandas. Inilah aku, kamu, dan kenangan kita di semester empat. Kostka Albert Nugroho, mantan terunik, terasing, terberbeda (maksain amat kata-katanya), dan terindah pastinya. Meski perjalanan kami sesingkat api membakar kertas, semelesat roket ke angkasa. Namun, ketahuilah kamu mantan terindah yang memberikan arti hidup di dalam perbedaan, karena pelangi pun takkan indah jika hanya satu warna.
~Alkhawari~
[1] Jalan Salib adalah salah satu devosi dalam tradisi Katolik untuk mengenang kembali perbuatan Yesus yang menyelamatkan. Karena alasan ini, maka setiap Gereja Katolik memiliki gambar atau lukisan yang mengkisahkan berbagai macam keadaan atau “perhentian” dalam Sengsara dan Kematian Yesus. Devosi ini diadakan secara umum di Gereja Katolik pada hari-hari Jumat selama masa Prapaskah.
Tags:
Blog
0 komentar