Purwakarta Estetik : Kesenian Domyak
Manusia sebagai makhluk sosial tak terlepas dari manusia lainya untuk melakukan sebuah proses sosial yang senantiasa berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti pangan, pendidikan, pekerjaan, hiburan dan seni. Kebutuhan terhadap seni bukan semata kebutuhan akan rasa indah dan hiburan, melainkan sebagai penunjang kepentingan aktivitas manusia. Menurut Muhammad Jazuli (2014, hlm 48) bahwa kesenian lahir dari masyarakat dan tumbuh berkembang selaras dengan kepentingan masyarakat. Dari penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa kesenian berada di dalam kehidupan sehari – hari yang merupakan produk dari masyarakat yang saling berinteraksi untuk memenuhi kepentingan hidupnya. Lebih dalam lagi Merriem dalam Muhammad Jazuli (2014, hlm 161) mengungkapkan bahwa seni memiliki beberapa fungsi, seperti sebagai sarana upacara, sebagai respon fisik, sebagai hiburan, sebagai sarana komunikasi, untuk persembahan, menjaga keharmonisan norma – norma masyarakat, penopang intuisi, dan untuk integritas kemasyarakatan.
Mengingat begitu pentingnya seni dalam kehidupan, maka peneliti beranggapan diperlukan adanya partisipasi masyarakat untuk mewariskan kesenian agar tidak punah.
Purwakarta secara geografis adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat, letaknya berada di tengah – tengah bagian wilayah pantura dan priangan. Hal tersebut dapat mempengaruhi ciri khas dari seni yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Selain itu pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta sedang berupaya untuk menjadikan Purwakarta sebagai Kota Estetik dengan pendekatan estetik dan seni. Upaya pemerintah tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi peneliti untuk mengkaji kondisi objektif kesenian di daerah Kabupaten Purwakarta.
Domyak adalah salah satu kesenian di Purwakarta yang sudah cukup lama ada. Namun kini keberadaan kesenian Domyak mengalami kemunduran hal ini mungkin dikarenakan adanya arus modernisasi dan selera masyarakat yang berubah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Jajaka Purwakarta 2014, menurut M.I. Sopyan (Komunikasi personal, 3 Februari 2015) bahwa Purwakarta memiliki beberapa kesenian daerah salah satunya Domyak yang sudah lama ada namun kekinian mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Pendapat ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Sobari dalam Rina Arifa (2013, hlm 3 – 4) bahwa seni Domyak ini sudah sudah sangat lama tidak berkembang, bahkan hampir punah. Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti menafsirkan bahwa seni Domyak membutuhkan sebuah upaya dari masyarakat sebagai penggerak, penikmat dan yang mewariskan agar eksistensi Domyak tetap terjaga.
Pada Penelitian sederhana yang dilakukan kesenian Domyak ini berasal dari kata ngadogdogan bari ngarampayak yang artinya mengiringi dengan tetabuhan terhadap mereka yang menari dan memberikan hiburan. Eman sebagai pimpinan grup Domyak menuturkan bahwa kesenian ini sudah ada sejak 1927.Tujuan dari Domyak ini yakni sebagai ritual memohon hujan kepada Sang Maha Kuasa hal ini sejalan dengan tipologi masyarakat yang mata pencahariannya di perkebunan teh, sayuran dan palawija konon karena hal tersebut mereka memiliki seni Angklung Buncis yang sekarang lebih dikenal dengan Domyak dan konon di daerah Pasir Angin pernah terjadi kemarau berkepanjangan, maka masyarakat setempat mengadakan sebuah ritual memohon diturunkan hujan dengan menggunakan kesenian buncis yang saat ini menjadi Domyak.
Pada saat ini Domyak masih tumbuh dan berkembang di masyarakat Desa Pasir Angin, namun dengan seiring perkembangan Domyak tidak hanya sebagai ritual melainkan sebagai hiburan namun tidak menghilangkan sisi ritual dari Domyak itu sendiri sebagai identitas kesenianya. Perihal eksistensi kesenian Domyak, Eman menuturkan belum terlihat ketertarikan dan apresiasi generasi muda terhadap kesenian Domyak, padahal Domyak adalah kesenian buhun daerahnya sendiri yang harus dilestarikan. Pada saat ini Eman menjadi salah satu tokoh yang melestarikan Domyak ini melalui komunitas yang dibentuknya, yaitu Sinar Pusaka dan Pusaka Muda.
By : Manusia Abad-45
Sumber : Arifa, Rina (2013) Penyajian Kesenian Genyek. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
Jazuli, M (2014). Sosiologi Seni. Yogyakarta: Graha Ilmu
Tags:
Blog
0 komentar