Pergulatan "Warna" : Fenomena Perseturuan Rivalitas Sepakbola
Gemuruh maung Bandung meretas ke setiap hati bobotoh (pendukung club Persib) dan seluruh lapisan masyarkat Bandung. Tentunya sebuah kebanggaan atas kemenangan Persib mengalahkan skuad Sriwijaya FC skor 2-0 di partai final Piala Presiden 2015. Persib Juara! Begitulah bunyinya ketika peluit wasit ditiupkan tanda pertandingan berakhir. Konvoi-konvoi menyelimuti hingga jalanan padat dengan kendaraan. Dan masih banyak lagi kemeriahan perayaan atas kemenangan club sepakbola.
Setelah pertandingan final tersebut, bobotoh adalah orang yang berbahagia. Adapula orang yang bersedih, yakni para pendukung dan tim Sriwija FC. Kesedihan itu karena belum memiliki kesempatan untuk meraih juara pertama dalam Piala Pesiden 2015. Itulah dunia sepak bola selalu ada menang dan kalah. Bahkan menjadi rival atau musuh bubuyutan. Ada suporter yang rela menegasikan apapun demi club yang ia dukung. Juga karena kecintaannya pula ada suporter yang begitu fanatik berat terhadap tim yang ia dukung. Hal ini wajar selama dalam batasnya. Namun yang menjadi problematika adalah ketika sifat fanatik itu tak terkendali. Suporter fanatik ini bisa tak terima dan menjadi brutal ketika tim yang didukungnya kalah. Tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan anarkis hingga chaos dengan suporter lawan.
Menurut saya rivalitas dalam sepak bola itu hal yang wajar namun fenomena rivalitas yang terjadi di Liga Indonesia adalah hal yang aneh. Terlebih gesekan antar suporter yang membuat keadaan semakin panas. Seperti yang terngiang musuh bubuyutan antara Viking (Bobotoh Persib) versus The Jack Mania (pendukung Persija). Ada juga Bonek (pendukung Persebaya Surabaya) versus Aremania (pendukung Arema Malang) yang menjadi legenda dalam dunia sepak bola Liga Indonesia.
Sebetulnya jika berkaca pada Liga Eropa atau di Barat yang notabene sudah di katakan liga bergengsi, rivalitas itu terjadi karena 3 faktor. Yang pertama rivalitas club yang ada pada satu kota yang sama. Contoh Liga Inggris (English Premier League) di kota Manchester yakni rivalitas antara Manchester United versus Manchester City. Di liga Italia (Serie A) ada AC Milan versus Inter Milan. Di Liga Spanyol (La Liga) ada Real Madrid versus Atletico Madrid. Persaingan tadi dapat dikatakan hal yang wajar sebab club dalam satu kota tersebut berlomba menjadi siapa yang paling tangguh dan bergengsi di kotanya.
Faktor kedua yaitu rivalitas club dalam persaingan meraih puncak klasemen liga. Contoh di Liga Inggris (EPL) ada persaingan antara Manchester United dan Liverpool yang sengit menduduki puncak klasemen. Adapula di Liga Spanyol (La Liga) duel keras sejak dulu antara Barcelona versus Real Madrid yang dikatakan sebagai El Clasico.
Lalu faktor ketiga, yaitu dilihat dari sisi status sosial para suporter dan pendukung club kesayangan mereka. Contoh seperti di Liga Itali (Serie A) ada Lazio dengan para suporter yang rata-rata merupakan pendukung dari kalangan kaum borjuis melawan rivalnya yakni AS Roma dengan para suporter rata-rata dari kalangan kaum buruh. Juga adalagi contoh dari Liga Spanyol (La Liga) melihat status sosial dari sudut pandang jejak sejarah antara Real Madrid yang merupakan kalangan yang mempertahaankan kerajaan Spayol dengan rival Barcelona dari kaum separatis yang ingin merdeka.
Lantas, bagaimanakah fenomena rivalitas dunia sepakbola di Liga Indonesia? Dalam sejarahnya, beberapa kali diadakannya ajang pertandingan dalam Liga Indonesia baik ISL hingga yang terakhir Piala Presiden. Namun seperti yang kita ketahui tidak sedikit persaingan sepak bola yang dikatakan kurang sehat, mulai dari perjudian skor, perubahan jadwal pertandingan dan sebagainya. Hal ini juga berimbas pada rivalitas yang tidak sehat. Dan sehubungan dengan itu maka tidak menutup kemungkinan adanya gesekan antar suporter yang panas. Menurut pendapat saya pribadi gesekan rivalitas di Liga Indonesia itu aneh. Bila mengacu pada 3 faktor seperti di Eropa dalam Liga Inggris, Liga Spanyol, dan Liga Itali tadi sangatlah jauh dan bertolak belakang. Contoh perseteruan antara Persib dengan dengan Persija yang katanya dikatakan El Clasico di Indonesia, itu hal yang anomali teori labelling yang dipakai terbantahkan. Sebab, tidak ada sejarahnya Persib Bandung dan Persija Jakarta bersaing sengit dalam meraih puncak klasemen. Seperti halnya terakhir dalam Piala Presiden, Persija sudah gugur di awal dan Persib menjadi Juara. Tak ada duel persaingan sengit untuk meraih puncak klasemen dalam Piala presiden itu antara Persib versus Persija.
Kemudian ditinjau dari sudut pandang geografis, Persib dan Persija bukan merupakan club dalam satu kota bahkan berbeda provinsi. Juga ditinjau dari status sosial para suporter antara Viking (Bobotoh Persib) dan The Jack Mania (pendukung Persija) bukanlah dari berbeda kalangan yang diskriminatif. Para bobotoh Viking dan The Jack merupakan dari berbagai golongan dan status sosial yang berbeda-beda. Sehingga perseteruan Viking versus The Jack sebetulnya tidak ada masalah apa-apa. Persaingan rivalitas tersebut seperti dibuat-buat oleh para provokator dan oknum dalam dunia sepakbola di Indonesia.
Jika melihat sejarah, contoh perseteruan antara Persib dan Persija yaitu ketika ada kuis “Siapa Berani” yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi Indonesia sekitar tahun 2000an. Salah satu yang mewakili Viking dicemooh oleh The Jack karena salah ketika hendak mejawab pertanyaan. Lalu begitupun sebaliknya ketika The Jack berkunjung ke Bandung, ada oknum yang membuat perselisihan terhadap The Jack. Hal ini menjadi perseteruan dendam maupun sakit hati akibat luka lama bukan karena faktor rivalitas seperti yang terjadi di liga-liga besar di Eropa. Mungkin gesekan itu dibuat-buat oleh oknum yang berkepentingan agar rivalitas tadi menjadi bumbu pertandingan. Dan bumbu ini berdampak pada antusianya para suporter dan penonton sepakbola. Tentunya pihak yang diuntungkan adalah penyelenggara sepakbola dari rating stasiun tv yang meyiarkan pertandingan, kemudian dari penjualan tiket yang membeludak, lalu pihak sponsor yang untung banyak ketika berani menjadi sponsor bagi liga maupun club yang berseteru tadi.
Namun para oknum berkepentingan tadi tidak melihat dampak yang dibuat atas gesekan yang katanya bumbu pertandingan. Perseteruan tadi dapat menimbulkan perselisihan berkepanjangan bahkan chaos hingga tindakan kriminal. Apalagi doktrin perseteruan ini tertanam pada anak-anak yang mulai mencintai sepakbola dan club yang didukungnya. Menimbulkan fanatisme yang menyimpang akibat kesalahpahaman dalam rivalitas sepakbola.
Maka pertandingan sepakbola di Liga Indonesia dapat dikatakan hal yang sensitif. Padahal jika dilihat dari segi persaingan juara, jarang sekali adanya club yang menduduki juara bertahan. Itu artinya sepakbola di Liga Indonesia merupakan liga yang kompetitif. Namun yang sangat disayangkan yakni sistem dan lembaga yang mengurusi jalannya pertandingan perlu banyaknya evaluasi dan perbaikan. Sehingga terciptanya pertandingan yang sehat dan rivalitas yang wajar baik antar tim maupun suporter.
Lalu jika kita tinjau dari susut pandang media, dalam hal ini media bersifat netral. Apabila kita kita lihat pertandingan sepakbola dalam stasiun televisi, maka yang kita lihat adalah keseluruhan ruang dalam pertandingan sepakbola yang berlangsung. Kamera menyorot pada seluruh lapangan pertandingan atau sesekali fokus pada bola yang sedang begulir bukan pada salah satu club sepak bola saja. Itu artinya kamera melihat dari kacamata bola sepakbola yang bulat dimainkan sebagaimana mestinya. Serupa itulah mestinya kita menjadi suporter melihat pertandingan sepakbola. Menikmati dan mensupport club pada jalannya pertandingan dengan fair dan secara sehat . Walau kita mendukung salah satu club yang kita dukung secara fanatik tapi keberpihakan itu haruslah dalam batas wajar tanpa melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
By : Nocturnal
Ilustrasi : http://i778.photobucket.com/albums/yy67/kartunmania/B1012025.jpg
Tags:
Blog
0 komentar