Industri Budaya : Apakah Kau di Pihak Rakyat ?




Industri budaya adalah sebuah istilah yang acap kali digunakan untuk organisasi – organisasi
yang menciptakan budaya popular, seperti televisi, radio, media online, majalah, Koran, dan musik popular. Secara kasat mata hal tersebut tak nampak bermasalah, namun ‘gelagat’ industri budaya ini apabila kita telusuri akan muncul sebuah pertanyaan “Apakah mereka di pihak rakyat atau kaum kapitalis ?”  betapa tidak, begitu banyak tontonan televisi, lagu – lagu, media online yang tidak mendidik dan bahkan menyesatkan.
Fenomena permisif dalam sebuah penciptaan budaya popular tidak terelakkan, banyak statsiun televisi menyuguhkan acara – acara yang hanya mengejar rating semata tanpa “melirik” dampak esensial lainya. Ironi memang Variety Show sering kali menjadi tontonan favorit keluarga, padahal jika kita amati para penonton yang menjadi peserta kuis harus berdandan ala “compang – camping”, badut, tubuh berlumuran pewarna, secara tidak langsung seperti merefleksikan bahwa mental pesuruh masih melekat, hanya demi sejumlah uang mereka rela dijadikan “pesuruh” dan berpenampilan tidak sewajarnya.
Jagat hiburan bertambah keruh dengan merebaknya lagu – lagu cengeng, dan film – film bernuansa cinta, dan horror nan sensual. Lagu – lagu romantis dengan lirik cengeng selalu diidentikan dengan kaum muda yang sedang bersedih atau galau istilah masa kini, mereka seakan – akan terhanyut dengan lirik – lirik yang sendu, bahkan terbawa sampai ke sekolah. Tingginya animo masyarakat khususnya kaum muda terhadap lagu – lagu tersebut, menimbulkan menjamurnya penyanyi dan band – band yang memasukan unsur romantis dan cengeng dalam karyanya dengan dalih tuntutan pangsa pasar. Lagu romantis ini tidak hanya ‘melahap’ kaum muda namun anak – anak yang terbilang masih di bawah umur sudah menggemari lagu romantis tersebut, terlebih lagi sekarang sangat sulit ditemukan lagu - lagu yang sesuai dengan usia anak. 
Tak hanya industri musik, hal serupa terjadi di industri film, mereka menyuguhkan nuansa romantis, dan horror nan sensual. Film yang bernuansa romantis ini sering kali menggunakan latar sekolah, akibatnya siswa di persekolahan seakan – akan bukan disibukkan dengan kegiatan mengenyam pendidikan, melainkan dunia cinta yang semu. Film horror nan sensual, dua unsur tersebut mungkin tanpa disadari akan membawa para penikmat filmnya untuk kembali berpikir takhayul dan barbar, karena memang jika kita perhatikan unsur pembunuhan, mistis, dan sensual begitu kental dalam perfilman di Indonesia.

Inikah yang dinamakan penjajahan ? Ya, bisa saja kita anggap ini adalah penjajahan mode baru, dimana bukan desingan peluru dan darah yang membanjiri manakala terjatuh korban jiwa, melainkan secara implisit mental kita dikonstruksi oleh sebuah sistem untuk terus menerus menjadi kaum konsumerisme terhadap fantasi yang disuguhkan oleh produk industri budaya. Generasi monoton adalah sebuah hasil dari penjajahan ini, karena memang budaya populer oleh sebagian teoretikus budaya akan menimbulkan melemahnya pemikiran kritis, dan mendukung ideologi dominan. Lemahnya pemikiran kritis ini tentu disebabkan oleh konstruksi budaya populer seperti lagu romantis nan cengeng, film romantis, dan horror nan sensual. Adanya dominasi ideologi dalam konteks ini, yaitu kapitalis karena memang jagat hiburan hanya berorientasi memenuhi pangsa pasar, rating, dan merauk untung dari para penikmatnya tanpa melihat dampak esensial lainya. Adanya dominasi ideologi kapitalis juga dipertegas oleh seorang sosiolog penganut Mazhab Frankfurt, Adorno, bahwa industri budaya menjamin hegemoni kapitalis dengan menyediakan sebuah budaya yang lunak dan ringan (Nicholas Abercrombie, 2010 :129)
Lantas apakah pelaku jagat hiburan adalah antek – antek kapitalisme ?  tentu tidak semua pelaku jagat hiburan, dan tidak serta merta para pelaku ini adalah antek – antek kapitalisme. Para artis, penyanyi dan pelaku jagat hiburan lainya seringkali dituntut untuk memenuhi pangsa pasar oleh para produser sehingga segala daya upaya dilakukan untuk memenuhi pangsa pasar tersebut,  tak ayal mereka seperti “pelacur” yang bisa berganti – ganti demi terpenuhinya pangsa pasar. Disinilah letak ketidakdewasaan pelaku industri budaya mereka menciptakan budaya populer tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan atas karya – karya mereka.  Namun para pelaku jagat hiburan seakan tidak menyadari bahwa inkonsistensi terhadap idealis mereka akan mempercepat tamatnya umur mereka di jagat hiburan.
Pemenuhan pangsa pasar ? Apabila kita tinjau kembali bahwa pemenuhan pangsa pasar yakni disesuaikan oleh selera penikmat, maka dari itu memang tidak diindahkan jika mempersoalkan pelaku industri budaya saja. Inilah fenomena yang patut disadari segera bahwa munculnya generasi monoton itu dapat juga menjadi refleksi kondisi di masyarakat. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api barangkali istilah tersebut tepat untuk menggambarkan fenomena ini, motif  pemenuhan pangsa pasar oleh industri budaya adalah uang, sedangkan uang dan pangsa pasar ditentukan oleh selera penikmat (masyarakat). Keterkaitan komponen – komponen tersebut memang menjadi kerangkeng kapitalisme tersendiri untuk masyarakat.
Sebuah organisasi atau perusahaan (industri budaya) tidak akan bergerak apabila tidak ada yang menjalankan roda organisasi atau perusahaan tersebut, maka dibalik itu semua sudah tentu ada para penggerak, tentu saja para penggerak itu diantaranya adalah kaum intelektual, namun secara subyektif penulis dapat mengatakan bahwa mereka adalah kaum intelektual yang tidak bertanggung jawab, karena memang mereka mengkonsep sedemikian rupa budaya populer agar terciptanya hasrat para penikmat untuk terus – menerus menikmati produk industri budaya, mohon maaf misalnya karena di Indonesia mayoritas muslim, mereka menyuguhkan produknya dengan sentuhan islam sebagai daya tarik. Satu sisi jika memang berniat tulus untuk menyuguhkan konten islam itu sebuah hal luar biasa, namun jika maksud penyuguhan konten tersebut hanya sebagai daya tarik yang berujung uang, maka terjadi profanasi sebuah agama.  
Dimanakah peran pendidikan ? Peran pendidikan memanglah sangat penting untuk menyelesaikan persoalan ini, namun sebuah upaya pendidikan akan menjadi percuma, jika terus menerus para siswa di persekolahan dibombardir oleh produk – produk industri budaya kapitalis yang hanya mempertimbangkan untung dan rugi material  

Apakah pemaparan sebelumnya sebagai upaya mempersempit ruang berkarya ? tidak ada sedikitpun maksud untuk mempersempit ruang untuk berkarya, melainkan penulis ingin mengingatkan betapa produk industri budaya dapat mengkonstruksi realitas sosial yang ada saat ini, maka dari itu sudah sewajarnya kita berkarya tak sekadar berkarya melainkan melihat secara multi aspek, apakah karya kita akan memberikan banyak manfaat atau kerugian bagi semua orang ?      

~By: Manusia Abad-45

Ilustrasi : http://cdn.berdikarionline.com/2012/08/Krisis-dan-Das-Capital-386x290.jpg

Tags:

Share:

0 komentar