Rapor Merah Abdul

Pagi ini tak secerah biasanya, matahari yang biasa menyapaku di pagi hari terbungkam bisu oleh kerumunan awan yang seolah membenciku pagi ini. Hujan yang turun sejak ayam berkokok tak kunjung henti membanjiri bumi ini. Aku masih tertegun di tengah riakan air hujan yang menghantam genting rumahku.
“Bu, sepertinya Adul tidak jadi pergi ke sekolah!!! Hujan terus saja mengguyur!!!” Teriakku kepada ibu dengan sedikit kesal.
Datanglah seorang perempuan setengah baya yang berdiri persis di garis pintu dengan kursi rodanya, mencoba mendekatiku perlahan.
“Dul, tunggulah. Sebentar lagi hujan reda.” Ibu menatapku dari kejauhan.
“Tapi bu, hujannya terlampau besar dan membuatku tidak bersemangat untuk pergi ke sekolah.” Aku membantah ibu dengan kasar.
“Dul, dengarlah. Hujan yang lebat akan terkalahkan dengan semangat yang besar. Lihatlah Doni, dia selalu bersemangat pergi sekolah mau hujan atau panas, tak pernah mengeluh.” Seru ibu sambil mengayuh kursi rodanya menuju dapur.
“Doni lagi, Doni lagi…Yasudah angkat saja Doni jadi anak ibu!!!!” Aku menimpal jawaban ibu dengan ketus.
“Bukan begitu Dul. Kemarilah....” Ibu menyuruhku ke dapur.
“Sudahlah, lebih baik Adul tidur lagi.” Aku melemparkan tas dengan seenaknya, tampak buku dalam tas itu berhamburan.
Ku lihat di balik tirai kamar, ibu mencoba meraih tas yang barus saja aku lempar, sangat jelas tergeletak beberapa buku tulis dan LKS yang aku beli dua minggu yang lalu di lantai. Bukan hanya itu, pemandangan yang tak kalah hebatnya adalah uban ibuku yang semakin hari semakin menghiasi kepalanya. Sebenarnya aku merasa kasihan dengan keadaan ibu yang sekarang harus bertahan hidup dengan kursi rodanya, tapi apalah dikata aku paling bosan mendengar ibu yang selalu memuja-muja Doni, tetangga sebelahku. Maka, jangan salahkan jika aku berperangai nakal dan tidak berbakti kepada ibu.
Weker menunjukkan pukul 7.30 WIB, namun hujan lebat dan angin yang dingin begitu kejam menelusuk ke tubuhku. Sontak ku lihat bantal dan guling yang kian melambaikan kehangatannya padaku, segera aku mengganti baju putih abu dengan pakaian istirahat. Ku putuskan untuk kembali memanjakan mataku sejenak.
***
“Dul, hebat sekali kamu bisa membeli tablet secanggih ini.” Seru Doni, anak tetanggaku yang selalu dipuja oleh ibu.
“Iya dong, emangnya kamu saja yang punya handphone baru. Aku juga bisa.” Nada bicaraku meninggi, sembari aku memainkan tablet baruku.
“Yah ini juga handphone hadiah dari lomba cerpen, Dul. Ayahku tidak mungkin membelikanku benda mahal semacam ini.” Doni tersenyum.
“Kok kamu bilang gitu Don? Kamu enak punya ayah, sedangkan aku, ayah pergi begitu saja, ibu pun tidak bisa apa-apa.” Aku bersungut-sungut.
“Eh, Dul kamu tidak boleh seperti itu. Ibumu hebat, meski beliau memakai kursi roda dalam menjalankan setiap aktivitasnya, ibumu mampu membesarkan kau hingga sampai detik ini.” Doni menepuk bahu kananku.
“Ah, kamu sama halnya seperti ibu. Cerewet. Sudahlah aku pulang duluan ya.” Aku meninggalkan Doni tepat di depan pintu gerbang sekolah, langkahku sengaja dipercepat.
Doni hanya tersenyum dan melambaikan tangan kanannya, berseru untuk berhati-hati di jalan. Aku sama sekali tidak memperdulikannya, karena dalam pikirku Doni adalah anak kesayangan ibu dan aku selalu salah di mata ibu sampai kapanpun. Gumamku dalam hati.
Setelah sayup-sayup bayangan Doni hilang dari pelupuk mata, langkahku menjadi pelan. Sejatinya aku tergesa-gesa karena tak ingin pulang bersama Doni. Tapi, tiba dipertengahan gang menuju rumahku, ku lihat kerumunan orang begitu membanjiri gang rumah. Bukan, tepatnya pas di kediaman rumahku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal dan menimbulkan seribu tanda tanya. Ada apa di rumah? Mungkinkah ayah pulang dari negri Paman Sam itu? Atau ada donatur  yang mau membiayai penyakit lumpuh ibu, sehingga ibu sehat kembali. Atau jangan-jangan ada bapak Gubernur yang sengaja datang ke rumahku untuk memberikan hadiah, karena semester kemarin aku juara satu di kelas. Segera mungkin aku mempercepat langkahku, lebih cepat daripada menghindari sosok Doni.
“Mang Koko, ada apa di rumah? Tidak seperti biasanya ramai seperti ini.” Aku bertanya pada Mang Koko, tetangga samping kanan rumahku.
“Ya ampun, kamu gak tau Dul jika ibumu meninggal?” Mang Koko keheranan.
“Apa? Ibu meninggal? Itu hal yang mustahil!” Aku terkaget-kaget dan tidak percaya.
“Lihat saja sana, ibumu sudah terbujur kaku di tengah rumah. Justru ibumu belum kami kebumikan karena menunggu kau, Dul.” Sahut Mang Koko setengah kesal karena menunggu kedatanganku.
Tanpa berpikir panjang aku melempar tas, seketika beberapa ibu-ibu yang sibuk mengurusi jenazah ibu terkaget-kaget dan saling berbisik. Aku memandang ke tengah rumah dan benar saja jasad ibu telah terbungkus oleh kain kafan, wajahnya pucat dengan kedua mata yang sudah tertutup untuk selamanya. Aku menangis, memeluk erat jenazah ibu dan tak ingin aku lepaskan.
Beberapa tetanggaku sontak menghentikan tangisan histerisku, ku ingat bu Mimin ibunya Doni segera memeluk erat tubuhku. Tak kuasa aku menangis dalam dekapan seorang ibu yang dapat menenangkanku. Sembari terisak dalam lautan kenestapaan, bu Mimin tetap tegar mengelus lembut kepalaku dan bertuah supaya diberi ketabahan.
***
Bayang-bayang rasa bersalah bukan lagi semakin bias namun semakin jelas menari riang di depan benakku. Orang-orang yang menghantarkan jenazah ibu ke peristirahatan, sejak tadi sudah pulang berhamburan bersamaan dengan hujan yang turun lebat tiba-tiba. Aku tak juga bangkit meski hujan deras mengguyuri tubuhku. Sontak uluran tangan seorang wanita mengahampiri wajahku yang penuh dengan genangan air mata.
“Ayolah Dul, kita pulang. Tak baik jika kau terus menangisi almarhumah ibumu” Ibu Mimin, menyuruhku untuk pulang.
“Tapi Adul tak mau pulang bu. Adul terlalu banyak salah.” Aku memeluk batu nisan peristirahatan terakhir ibu.
“Tak baik Dul jika kau berpikir seperti itu. Ibumu teramat baik dan kamu bukanlah suatu kesalahan. Mari kita pulang, biar ibu yang mengurus kau, Doni sudah menunggu kita di rumah.” Ibu Mimin memaksaku untuk bangkit dari peristirahatan ibu.
“Terima kasih bu, baiklah.” Aku bangkit dan mengusap nisan ibuku, melambaikan pertanda pamit.
Setibanya di rumah bu Mimin, Doni menyuruhku dan ibunya untuk segera masuk. Tak lupa, Doni menyuruhku mandi dan mengulurkan handuk serta beberapa pakaiannya untukku.
Setelah selesai mandi, ku lihat di balik pintu Doni bercakap-cakap dengan ibunya, entah apa yang menjadi topik bincangannya. Tapi, yang ku perhatikan adalah raut wajah Doni begitu hangat dengan ibunya, begitupun sebaliknya. Hal yang tidak pernah aku rasakan selama bersama almarhumah ibuku, melihat pemandangan itu seketika aku menyeka air mata yang hendak jatuh di pipiku. Aku baru sadar, betapa berharganya seorang ibu.
“Abdul, ayo kemari nak. Kita makan siang terlebih dahulu.” Ibu memanggilku dari ruang tengah.
“Iyaaaa bu, sebentar. Adul sedang merapihkan pakaian kotornya.” Aku beralibi dan segera mengusap mata, agar aku terlihat baik-baik saja.
“Sudahlah Dul, makan dulu. Biar aku saja yang merapihkan pakaianmu, nanti keburu dingin nih makanannya.” Teriak Doni dari ruang tengah.
“Iya Don, aku segera kesana.” Aku keluar dari kamar Doni.
Aku segera duduk manis ditengah bu Mimin dan Doni. Wangi semilir nasi hangat, telur dadar, dan ayam goreng manis pedas membuatku semakin lapar, terlebih aku dari pagi memang tidak sarapan. Baru ku tahu bahwa Doni pintar memasak, semua ini adalah Doni yang menyiapkan. Aku tersipu malu.
Semenjak ibu meninggal, ayahku tak pernah memberi kabar. Mungkin di Amerika ayah menikah lagi, pikirku. Aku seperti saudara kembar Doni, bu Mimin memperlakukan aku dan Doni sama, begitupula ayahnya. Sejak kepergian ibu, semua tetangga mencibirku si anak durhaka. Aku hanya terdiam dengan cibiran seperti itu, karena aku menyadari semua kesalahanku. Namun, Doni terus memberikan semangat bak motivator ulung agar semua omongan negatif  tetangga tidak aku dengarkan.
***
Aku terperanjat dari tidurku, keringat dingin membanjiri tubuh ini. Ku tampar keras kedua pipi, ternyata hanya mimpi. Aku termenung di depan kaca dan memikirkan mimpi tadi, seolah nyata. Aku pastikan bahwa ibu memang benar-benar masih hidup, maka tanpa berpikir panjang aku mencari ibu di dapur.
“Buuuuuuu….Ibuuuu.” Aku memanggil ibu, namun ibu tak menyahutku.
“Ibuuuuu…..Dimana?” Aku mulai cemas.
Dapur, halaman depan, halaman belakang, ruang tengah tak kunjung juga ku temui ibu. Badanku bergemetar, jangan-jangan mimpiku tadi adalah pertanda bahwa ibu benar-benar .…
“Ibu maafkan Adul.” Aku memeluk ibu yang tengah tertidur lelap.
“Mmmmmhhh… Dul, kenapa?” Ibu kaget kemudian terbangun dan mengusap lembut kepalaku.
Aku menceritakan mimpiku yang buruk itu kepada ibu. Ibu mendengarkan mimpiku dan tanpa satu syarat apapun yang ibu ajukan kepadaku, pintu maafnya terbuka lebar. Selama ini, aku menyadari bahwa aku anak yang tidak berbakti padanya. Setiap hari aku hanya mengeluh dan mengeluh, tanpa ku tahu ibu adalah seseorang yang paling berharga dalam hidupku.
Masa sulitku adalah dimana kami berdua ditinggal oleh ayah yang pergi ke Amerika. Masih ku ingat sosok ayah ketika aku kelas enam SD, saat itulah saat terakhir aku mengenal seorang ayah. Ayah memutuskan untuk pergi ke negara yang terkenal dengan patung Libertinya itu dengan alasan untuk mencari biaya yang besar demi kesembuhan ibu. Ibu yang mengalami kelumpuhan akibat stroke yang menyerangnya sejak aku kelas lima SD membuat ayah harus memutar otak dua kali lebih keras.
Sebenarnya aku sendiri mempunyai dua orang kakak. Kakak pertamaku merantau ke Kalimantan bersama anak Pak Harun, teman dekat ayah. Semenjak pergi ke Kalimantan, tak sepucuk surat pun datang dari kakak sulungku. Entah apa yang terjadi, aku dan ibu pun tak pernah mendapatkan kabar apalagi Pak Harun kini tak tinggal dekat dengan kami lagi. Begitupun dengan kakak kedua, kakakku yang kedua adalah perempuan setelah dibawa oleh suaminya ke Malaysia, tak pernah berkunjung lagi ke rumah. Mbak Laila, kakak keduaku hanya memberikan transferan uang saja untuk menghidupi ibu dan biaya sekolahku, itupun kadang ibu harus mencari pinjaman ke tetangga karena tidak cukup, misalnya.
“Dul, uang dari kakakmu sudah hampir menipis karena sudah tiga bulan lamanya kakakmu tidak transfer.” Ibu menghampiriku dengan kursi rodanya yang senantiasa menemaninya kemanapun pergi.
“Hmmm… Tak apalah bu, mungkin bulan depan si mbak transfer.” Aku yang sedang asyik mengerjakan tugas, tak terlalu menghiraukan ucapan ibu.
“Tapi Dul, uang kita benar-benar tipis. Ada untuk satu minggu lagi kita makan, itu pun cukup tahu dan tempe lauk-pauknya.” Ibu mencoba memberikan penekanan suara, agar aku menoleh kepadanya.
“Ya ampun. Sepertinya kita harus melakukan sesuatu bu.” Seketika aku menatap ibu.
“Lakukan apa? Pinjam uang lagi pada bu Mimin? Ibu sangat malu, Dul.” Ibu tertunduk lesu.
“Hmmmm… Biar Adul pikirkan.” Aku termenung bak seorang filosof.
“Ahaaaaa…. Gimana kalo kita berjualan kue saja bu. Ibu kan jago masak, biar Adul yang jualan kue-kue ibu ke sekolah dan ke warung-warung.” Aku memberikan pencerahan kepada ibu.
Ibu tersenyum, “Ide yang bagus. Tapi, memangnya kamu gak malu, anak laki-laki jualan kue?” Ibu setengah tidak yakin dengan usulanku.
“Ibu percayakan padaku. Adul mau berjualan untuk ibu, pokoknya sekarang kita harus mandiri. Kita bisa hidup tanpa ayah dan si mbak.” Aku memeluk ibu.
“Baiklah Dul, mulai besok ibu akan mencoba untuk membuat kembali kue-kue pasar, seperti dulu ibu masih gadis.” Ibu bersemangat.
“Siap, pasti kue-kue buatan ibu enak dan laris.” Aku memuji ibu.
***
Sudah satu bulan lamanya aku berjualan kue di sekolah. Barbagai tanggapan dan hardikan dari sana-sini menerpaku, mulai dari ada yang bilang cari sensasi, si anak durhaka yang tobat, dasar anak miskin, kampungan, dll. Namun, ada juga yang mengacungi jempol jerih payahku, salah satunya Doni. Doni yang menjadi pelanggan setia selalu memberikanku semangat agar aku pantang menyerah untuk terus berjualan. Sejak saat itu, aku berkawan baik dengan Doni, bahkan kami berdua selalu pulang dan pergi ke sekolah bersama, mengerjakan tugas bersama, dan kebaikan Doni yang membuatku kagum adalah dia tak pernah malu untuk membantuku berjualan kue, hingga ke ruangan guru dan kepala sekolah, Doni berani menjajakan kue-kue buatan ibuku.
Luar biasa hasilnya, minggu pertama, kedua, dan ketiga hasilnya memuaskan. Namun, di minggu-minggu berikutnya kue-kue buatan ibu tak pernah laku, bahkan sudah satu minggu ini kue-kue ibu selalu dibagikan ke tetangga karena tak sedikitpun yang terjual.
“Bu, bagaimana ini kuenya tak pernah laku?” Aku murung.
“Kamu jangan patah semangat Dul, ibu yakin suatu hari nanti ada yang membeli kue-kue kita.” Ibu mengayuh kursi rodanya dan segera membuatkanku secangkir teh hangat.
“Tapi bagaimana kita mau dapat hasil, sementara kuenya selalu ibu bagikan ke tetangga?” Aku meraih teh yang ibu buat.
“Allah sudah mengatur semuanya. Boleh jadi Allah sudah menyiapkan rencana terbaik-Nya untuk kita. Bisa jadi ada saudagar kaya yang mau memborong habis kue-kue kita.” Ibu tersenyum sembari membetulkan ikatan rambutnya, tampak uban putihnya dan kerutan di keningnya semakin banyak.
“Aamiin bu, semoga saja.” Aku merapikan kembali kue-kue itu.
Setelah semua kue dihidangkan aku segera berpamitan pada ibu, aku berjualan kue keliling. Mau tak mau cara ini harus ku lakukan agar kue ibu laris dibeli oleh pelanggan. Sudah dua, tiga, rumah aku singgahi namun tak ada yang mau membeli. Tak apa, pikirku. Aku terus saja berjualan dengan penuh kegembiraan, mengingat kalimat ibu bahwa suatu hari nanti ada saudagar yang memborong habis daganganku.
***
Terik sang surya berganti menjadi senja, namun tak mengganti separuh nasibku. Kue-kue tak laku, hanya satu ada yang membeli, itupun dengan setengah harga. Terpaksa ku jual, daripada tidak mendapatkan uang sama sekali.
Berpeluh keringat, segera aku beristirahat di sebuh taman kota. Tak terasa aku berjalan dari gang rumah hingga jalan raya kota. Aku lelah dan tak sadarkan diri hingga aku tertidur pulas bi bawah pohon beringin yang besar.
            “Dek, bangun….Bangun…” Seseorang membangunkanku.
            “Mhhh…Iya…Huaaaaam.” Aku terbangun dengan keadaaan masih kantuk dan mengucek-ngucek kedua bola mata.
            “Haaaahhh.. daganganku habis?” Aku kaget setengah kegirangan.
            “Tidak nak, tadi beberapa berandalan kota mengabisi semua kue-kuemu ketika kamu tertidur pulas.” Laki-laki yang penuh dengan uban dan janggut itu menjelaskan hilanganya daganganku.
            “Ya ampun, maafkan Adul bu.” Tiba-tiba aku tertunduk lemas.
            Bukannya saudagar kaya yang menghampiriku, ternyata berandalan nakal yang mencuri semua daganganku. Tapi, sungguh Allah Maha Tahu, seseorang yang membangunkanku adalah Pak Harun kerabat ayah dulu. Lantas, aku bercengkrama dengan beliau hingga petang. Kini Pak Harun menjadi pengusaha tambang yang sangat sukses, bukan hanya memberikan kabar gembira tentang kakak sulungku, tapi Pak Harun memang sengaja berencana singgah ke rumahku, beliau tersesat di taman kota karena sudah berbelas tahun lamanya tidak singgah ke kota ini lagi.

            Alhamdulillah, kakak sulungku Mas Tomi sudah pindah ke Papua karena sukses menjadi pengusaha tambang minyak. Pak Harun juga menitipkan bingkisan dari Mas Tomi dan sepucuk surat permintaan maaf untuk ibu. Kini, bukan hanya kue-kue ibu yang terjual laris manis habis, tapi memang ibu sekarang menjadi pengusaha kue jajanan pasar. Mas Tomi yang memberikan ibu modal usaha melalui Pak Harun, alhasil bukan hanya kehidupan kami yang membaik tapi kesehatan ibu juga. Setelah kios kue berdiri, ibu mulai berobat rutin dan akhirnya ibu sembuh. Tahun terakhir aku sekolah SMA, Pak Harun mendaftarkan aku untuk melanjutkan studi perguruan tinggi ke Amerika, luar biasa. Semoga saja aku bisa bertemu dengan ayah disana. Aamiin.

By : Alkhawari 

Ilustrasi : pixabay.com

Tags:

Share:

0 komentar